BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Keperawatan
merupakan suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral
dari pelayanan kesehatan yang didasarkan ilmu dan kiat keperawatan yang
mencakup pelayanan bio-psiko-sosio dan spiritual yang komprehensif serta
ditujukan kepada individu, keluarga serta masyarakat baik yang sakit maupun
yang sehat, keperawatan pada dasarnya adalah human science and human care and caring menyangkut upaya
memperlakukan klien secara manusiawi dan utuh sebagai manusia yang berbeda dari
manusia lainnya dan kita ketahui manusia terdiri dari berbagai sistem yang
saling menunjang, di antara sistem tersebut adalah sistem neurobehavior (Potter
& Perry, 2006).
Susunan tulang
pada manusia terdiri dari berbagai macam tulang di antaranya tulang vertebra
(servikal, torakal, lumbal, sakral, koksigis). Tulang servikalis
terdiri dari 7 tulang yaitu C1 atau atlas, C2 atau axis, C3, C4, C5, C6 dan C7.
Apabila cidera pada bagain servikal akan mengakibatkan terjadinya trauma
servikal.di mana trauma servikal merupakan keadaan cidera pada tulang bekalang
servikal dan medulla spinalis yang disebabkan oleh dislokasi, sublukasi atau
frakutur vertebra servikalisdan di tandai kompresi pada medulla spinal daerah
servikal (Muttaqin, 2011).
Trauma medula
spinalis terjadi pada 30.000 pasien setiap tahun di Amerika serikat. Insidensi
pada negera berkembang berkisar antara 11,5 hingga 53,4 kasus dalam 1.000.000
populasi. Umumnya terjadi pada remaja dan dewasa muda.2 Penyebab
tersering adalah kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh (25%) dan cedera yang
berhubungan dengan olahraga (10%). Sisanya akibat kekerasan dan kecelakaan
kerja. Hampir 40%-50% trauma medulla spinalis mengakibatkan defisit neurologis,
sering menimbulkan gejala yang berat, dan terkadang menimbulkan kematian.
Walaupun insidens pertahun relatif rendah, tapi biaya perawatan dan
rehabilitasi untuk cedera medulla spinalis sangat besar, yaitu sekitar US$
1.000.000 / pasien. Angka mortalitas diperkirakan 48% dalam 24 jam
pertama, dan lebih kurang 80% meninggal di tempat kejadian (Emma,
2011).
Di
Indonesia kecelakaan merupakan penyebab kematian ke empat, setelah penyakit
jantung, kanker, dan stroke, tercatat ±50 meningkat per 100.000 populasi tiap
tahun, 3% penyebab kematian ini karena trauma langsung medulla spinalis, 2%
karena multiple trauma. Insiden trauma pada laki-laki 5 kali lebih besar dari
perempuan. Ducker dan Perrot melaporkan 40% spinal cord injury disebabkan
kecelakaan lalu lintas, 20% jatuh, 40% luka tembak, sport, kecelakaan kerja.
Lokasi fraktur atau fraktur dislokasi cervical paling sering pada C2
diikuti dengan C5 dan C6 terutama pada usia dekade 3 (Emma, 2011).
Dampak
trauma servikal mengakibatkan syok
neurogenik, syok
spinal, hipoventilasi, hiperfleksia autonomic, gangguan pada
pernafasan, gangguan fungsi saraf pada jari-jari tangan, otot bisep, otot
trisep, dan otot- otot leher. Akibat atau dampak lebih lanjut dari trauma
servikal yaitu kematian.
Peran
perawat sangat penting dalam memberikan asuhan keperawatan guna mencengah
komplikasi pada klien dan memberikan pendidikan kesehatan untuk meningkatkan
pengetahuan pasien dan keluarga tentang trauma servikal.
Dari
uraian diatas kelompok tertarik untuk membahas masalah asuhan keperawatan
kegawatdaruratan dengan masalah trauma servikal.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan
fenomena diatas kelompok merasa tertarik untuk membahas tentang masalah
asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada pasien Tn. A
dengan kasus trauma servikal.
C.
TUJUAN
1. Tujuan
umum
Mahasiswa mampu
melakukan asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada pasien Tn. A
dengan kasus trauma servikal.
2. Tujuan
Khusus
a. Mahasiswa
mampu melakukan pengkajian pada Tn. A dalam asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada trauma serikal.
b. Mahasiswa
mampu mengelompokkan data sesuai dengan tanda dan gejala pada trauma servikal.
c. Mahasiswa
mampu merumuskan diagnosa keperawatan dalam asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada trauma serikal.
d. Mahasiswa
mampu membuat perencanaan dalam asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada trauma serikal.
e. Mahasiswa
mampu melakukan implementasi atau
tindakan keperawatan dalam rangka penerapan asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada trauma serikal.
f. Mahasiswa
mampu mengevaluasi terhadap intervensi yang telah dilakukan dalam asuhan
keperawatan kegawatdaruratan pada trauma
serikal.
g. Mahasiswa
mampu melakukan pendokumentasian pada Asuhan Keperawatan kegawatdaruratan
pada trauma serikal.
D.
MANFAAT
1. Bagi
mahasiswa
a. Mahasiswa
dapat memahami tentang konsep penyakit trauma servikal.
b. Mahasiswa
mendapat memahami dan mempraktekkan tentang asuhan keperawatan gawatdaruratan pada
penyakit trauma servikal.
2. Bagi
akademik
a. Akademik
mendapatkan tambahan referensi untuk melengkapi bahan pembelajaran.
b. Akademik
mendapat dorongan untuk memotivasi mahasiswa tentang trauma servikal melalui
proses belajar dan praktik dilapangan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Anatomi
Fisiologi
Kolumna vertebralis atau rangkaian
tulang belakang Adalah sebuah struktur lentur yang dibentuk oleh sejumlah
tulang yang disebut vertebra atau ruas tulang belakang. Di antara tiap dua ruas
tulang pada tulang belakang terdapat bantalan tulang rawan. Panjang rangkaian
tulang belakang pada orang dewasa dapat mencapai 57 sampai 67 sentimeter.
Seluruhnya terdapat 33 ruas tulang, 24 buah di antaranya adalah tulang terpisah
dan 9 ruas sisanya bergabung membentuk 2 tulang (Syaifuddin,
2009).
Gambar 2.1: Anatomi
Servikal
Menurut Pearce, (2009) Vertebra dikelompokkan dan dinamai
sesuai dengan daerah yang ditempatinya yaitu sebagai berikut :
1.
Tujuh vertebra servikal atau ruas
tulang bagian leher membentuk daerah tengkuk.
2.
Dua belas vertebra torakalis atau
ruas tulang punggung membentuk bagian belakang torax atau dada.
3.
Lima vertebra lumbalis atau ruas
tulang pinggang membentuk daerah lumbal atau pinggang.
4.
Lima vertebra sakralis atau ruas
tulang kelangkang membentuk sakrum atau tulang kelangkang.
5.
Empat vertebra kosigeus atau
ruas tulang tungging membentuk tulang koksigeus atau tulang tungging.
Pada tulang
leher, punggung dan pinggang ruasnya tetap tinggal jelas terpisah selama hidup
dan disebut ruas yang dapat bergerak. Ruas pada dua daerah bawah, sakrum dan
koksigeus, pada masa dewasa bersatu membentuk dua tulang. Ini disebut ruas tak
bergerak (Pearce, 2009).
Dengan
perkecualian dua ruas pertama dari tulang leher maka semua ruas yang dapat
bergerak memiliki ciri khas yang sama. Seperti vertebra terdiri atas dua
bagian, yaitu anterior di sebut badan vertebra dan yang posterior disebut arkus
neuralis yang melingkari kanalis neuralis (foramen vertebra atau saluran sumsum
tulang belakang) yang dilalui sumsum tulang belakang (Syafuddin, 2009).
Vertebra
Servikalis atau ruas tulang leher adalah yang paling kecil. Kecuali yang
pertama dan kedua, yang berbentuk istimewa maka ruas tulang leher pada umumnya
mempunyai ciri yang berikut: badannya kecil dan persegi panjang, lebih panjang
dari samping ke samping daripada dari depan ke belakang. Lengkungnya besar.
Prosesus spinosus atau taju duri di ujung memecah dua atau bifida. Prosesus
transversusnya atau taju sayap berlubang karena banyak foramina untuk lewatnya
arteri vertebralis (Syafuddin, 2009).
Vertebra
servikalis ketujuh adalah ruas yang pertama yang mempunyai prosesus spinosus
tidak terbelah. Prosesus ini mempunyai tuberkel (benjolan) pada ujngnya.
Membentuk gambaran yang jelas di tengkuk dan tampak pada bagian bawah tengkuk.
Karena iri khususnya ini maka tulang ini disebut vertebra prominens (Syafuddin,
2009).
Vertebra
torakalis atau ruas tulang punggung lebih besar daripada yang servikal dan di
sebelah bawah menjadi lebih besar. Ciri khas vertebra torakalis adalah sebagai
berikut: badannya berbentuk lebar-lonjong (bentuk jantung dengan faset atau
lekukan kecil di setiap sisi untuk menyambung iga; lengkungnya agak kecil,
prosesus spinosus panjang dan mengarah ke bawah, sedangkan prosesus
transversus, yang membantu mendukung iga adalah tebal dan kuat serta membuat
faset persendian untuk iga (Pearce, 2009).
Vertebra
Lumalis atau ruas tulang pinggang adalah yang terbesar. Badnnya sangat besar
dibandingkan dengan badan vertebra lainnya dan berbentuk seperti ginjal.
Prosesus spinosusunya lebar dan berbentuk seperti kapak kecil. Prosesus
transversusnya panjang dan langsing. Ruas kelima membentuk sendi dengan sakrum
pada sendi lumbo-sakral (Syafuddin, 2009).
Sakrum atau
tulang kelangkang berbentuk segitiga dan terletak pada bagian bawah kolumna
vertebralis, terjepit di antara kedua tulang inominata (atau tulang koxa) dan
membentuk bagian belakang rongga pelvis (panggul). Dasar dari sakrum terletak
di atas dan bersendi dengan vertebra lumalis kelima dan membentuk sendi
intervertebral yang khas. Tapi anterior dari basis sakrum membentuk
promontorium sakralis. Kanalis sakralis terletak di bawah kanalis
vertebralis (saluran tulang belakang) dan memang lanjutan daripadanya. Dinding
kanalis sakralis berlubang untuk dilalui saraf sakral. Prosesus spinosus yang
rudimenter dapat dilihat pada pandangna posterior dari sakrum. Permukaan
anterior sakrum adalah cekung dan memperlihatkan empat gili melintang yang
menandakan tempat penggabungan kelima vertebra sakralis. Pada ujng gili-gili
ini, di setiap sisi terdapat lubagng kecil untuk dilewati urat saraf. Lubang
ini disebut foramina. Apex dari sakrum bersendi dengan tulang koksigeus. Di
sisinya, sakrum bersendi dengan tulang ileum dan membentuk sendi sakro iliaka
kanan dan kiri (Pearce, 2009).
Koksigeus
atau tulang tungging terdiri atas empat atau lima vertebra yang rudimeter yang
bergabung menjadi satu. Di atasnya ia bersendi dengan sakrum. Lengkung kolumna
vertebralis. Kalau dilihat dari samping maka kolumna vertebralis memperlihatkan
empat kurva atau lengkung antero-posterior: lengkung vertikal pada daerah leher
melengkung ke depan, daerah torakal melengkung ke belakang, daerah lumbal
melengkung ke depan dan daerah pelvis melengkung ke belakang. Kedua lengkung
yang menghadap posterior, yaitu yang terakal dan pelvis disebut primer karena
mereka mempertahankan lengkung aslinya ke belakang dari tulang belakang yaitu
bentuk “C” sewaktu janin dengan kepala membengkok ke bawah sampai batas dada
dan gelang panggul dimiringkan ke atas ke arah depan badan. Kedua lengkung yang
menghadap ke anterior adalah sekunder-lengkung servikal berkembang ketika
kanak-kanak mengangkat kepalanya untuk melihat sekelilingnya sambil menyelidiki
dan lengkung lumbal di bentuk ketika ia merangkak, berdiri dan berjalan dan
mempertahankan tegak (Syafuddin, 2009).
Sendi
kolumna vertebra. Sendi ini dibentuk oleh bantalan tulang rawan yang diletakkan
di antara setiap dua vertebra, di kuatkan oleh ligamentum yang berjalan di
depan dan di belakang badan vertebra sepanjang kolumna vertebralis. Massa otot
di seitap sisi membantu dengan sepenuhnya kestablian tulang belakang. Diskus
intervertebralis atau cakram antar ruas adalah bantalan tebal dari tulang rawan
fibrosa yang terdapat di antara badan vertebra yang dapat bergerak. Gerakan.
Sendi yang terbentuk antara cakram dan vertebra adalah persendian dengan
gerakan yang terbatas saja dan termasuk sendi jenis simpisis, tetapi jumlahnya
yang banyak memberi kemungkinan membengkok kepada kolumnanya secara
keseluruhan. Gerakannya yang mungkin adalah flexi atau membengkok ke depan,
extensi, membengkok ke depan, membengkok lateral ke setiap sisi dan rotasi atau
berputar ke kanan dan ke kiri (Pearce, 2009).
Fungsi dari
Kolumna vertebralis, kolumna vertebralis bekerja sebagai pendukung badan yang
kokoh dan sekaligus juga bekerja sebagai penyangga dengan perantaraan tulang
rawan cakram intervertebralis yang lengkungannya memberi fleksibilitas dan
memungkinkan membengkok tanpa pata. Cakramnya juga berguna untuk menyerap
goncangan yang terjadi bila menggerakkan berat badan seperti waktu berlaru dan
meloncat, dan dengan demikian otak dan sumsum belakang terlindung terhadap
goncangan (Pearce, 2009).
B. Pengertian Trauma Servikal
Trauma servikal
adalah suatu keadaan cedera pada tulang belakang servikal dan medulla spinalis
yang disebabkan oleh dislokasi, subluksasi, atau fraktur vertebra servikalis
dan ditandai dengan kompresi pada medula spinalis daerh servikal. Dislokasi
servikal adalah lepasnya salah satu struktur dari tulang servikal. Subluksasi
servikal merupakan kondisi sebagian dari tulang servikal lepas. Fraktur
servikal adalah terputusnya hubungan dari badan tulang vertebra servikalis
(Muttaqin, 2011).
C.
Etiologi
Cedera medulla
spinalis servikal disebabkan oleh trauma langsung yang mengenai tulang belakang
di mana tulang tersebut melampaui kemampauan tulang belakang dalam melindungi
saraf-saraf belakangnya. Menurut Emma, (2011) Trauma langsung tersebut dapat
berupa :
1. Kecelakaan
lalulintas
2. Kecelakaan
olahraga
3. Kecelakaan
industri
4. Jatuh
dari pohon/bangunan
5. Luka
tusuk
6. Luka
tembak
7. Kejatuhan
benda keras
D.
Patofisiologi
Kolumna
vertebralis normal dapat menahan tekanan yang berat dan mempertahankan
integritasnya tampa mengalami kerusakan pada medula spinalis. Akan tetapi,
beberapa mekanisme trauma tertentu dapat merusak sistem pertahanan ini dan
mengakibatkan kerusakan pada kolumna vertebralis dan medula spinalis. Pada
daerah kolumna servikal, kemungkinan terjadinya cedera medula spinalis adalah
40%. Trauma servikal dapat ditandai dengan kerusakan kolumna vertebralis
(fraktur, dislokasi, dan subluksasi), kompresi diskus, robeknya ligamen
servikal, dan kompresi radiks saraf pada setiap sisinya yang dapat menekan
spinal dan menyebabkan kompresi radiks dan distribusi saraf sesuai segmen dari
tulang belakang servikal (Price, 2009).
Pada cidera
hiperekstensi servikal, pukulan pada wajah atau dahi akan memaksa kepala
kebelakang dan tidak ada yang menyangga oksiput dan diskus dapat rusak atau
arkus saraf mengalami kerusakan. Pada cidera yang stabil dan merupakan tipe
frakutur vertebra yang paling sering di temukan. Jika ligamen posterior robek,
cedera, bersifat tidak stabil dan badan vertebra bagian atas dapat miring ke
depan di atas badan vertebra di bawahnya. Trauma servikal dapat menyebabkan
cedera yang komponen vertebranya tidak akan tergeser oleh gerakan normal
sehingga sumsum tulang tidak rusak dan resiko biasanya lebih rendah (Muttaqin,
2011).
Cedera yang
tidak stabil adalah cedera yang dapat mengalami pergeseran lebih jauh dan
perubahan struktur oseoligamentosa
posterior (pedikulis, sendi permukaan, arkus tulang posterior, ligamen
interspinosa, dan supraspinosa), komponen pertengahan (sepertiga bagian
posterior badan vertebra, bagian posterior diskus intervertebra, dan ligamen
longitudinal posterior), dan kolumna anterior (duapertiga bagian anterior
korpus vertebra, bagian anterior diskus intervertebra dan ligamen longitudinal
anterior) (Muttaqin, 2011).
Cedera spinal
tidak stabil menyebabkan resiko tinggi cedera pada korda sehingga menimbulkan
masalah aktual atau resiko ketidakefektifan pola napas dan penurunan curah
jantung akibat kehilangnya kontrol organ viseral. Kompresi saraf dan spasme
otot servikal memberikan stimulasi nyeri. Kompresi diskus menyebabkan paralisis
dan respons sistemik dengan munculnya keluhan mobilisasi fisik, gangguan
defekasi akibat penurunan peristaltik usus, dan ketidak seimbangan nutrisi
(Price, 2002).
Tindakan
dekompresi dan stabilitas pada pascabedah akan menimbulkan port de entree luka pascabedah yang menyebabkan masalah resiko
tinggi infeksi. Selain itu, tindakan tersebut dapat menyebabkan kerusakan
neuromuskular, yang menimbulkan resiko trauma sekunder akibat ketidaktahuan
tentang teknik mobilisasi yang tepat. Kondisi psikologis karena prognosis
penyakit menimbulkan respons anastesi. Manipulasi yang tidak tepat akan
menimbulkan keluhan nyeri dan hambatan mobilitas fisik (Muttaqin, 2011).
E.
WOC
F.
Manifestasi
Klinis
Menurut Hudak
& Gallo, (1996) menifestasi klinis trauma servikal adalah sebagai berikut :
1. Lesi
C1-C4
Pada lesi C1-C4.
Otot trapezius, sternomastoid dan otot plastisma masih berfungsi. Otot
diafragma dan otot interkostal mengalami partalisis dan tidak ada gerakan (baik
secara fisik maupun fungsional0 di bawah transeksi spinal tersebut. Kehilangan
sensori pada tingkat C1 malalui C3 meliputi daerah oksipital, telinga dan
beberapa daerah wajah. Kehilangan sensori diilustrasikan oleh diagfragma
dermatom tubuh.
Pasien dengan
quadriplegia pada C1, C2, atau C3 membutuhkan perhatian penuh karena
ketergantungan pada semua aktivitas kebutuhan sehari-hari seperti makan, mandi,
dan berpakaian. quadriplegia pada C4 biasanya juga memerlukan ventilator
mekanis tetapi mengkn dapat dilepaskan dari ventilator secara. intermiten.
pasien biasnya tergantung pada orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari meskipun dia mungkin dapat makan sendiri dengan alat khsus.
2. Lesi
C5
Bila segmen C5
medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi diafragma rusak sekunder terhadap
edema pascatrauma akut. paralisis intestinal dan dilatasi lambung dapat
disertai dengan depresi pernapasan. Ekstremitas atas mengalami rotasi ke arah
luar sebagai akibat kerusakan pada otot supraspinosus. Bahu dapat di angkat
karena tidak ada kerja penghambat levator skapula dan otot trapezius. setelah
fase akut, refleks di bawah lesi menjadi berlebihan. Sensasi ada pada daerah leher dan triagular anterior
dari daerah lengan atas.
3. Lesi
C6
pada lesi segen
C6 disters pernafasan dapat terjadi karena paralisis intestinal dan edema
asenden dari medulla spinalis. Bahu biasanya naik, dengan lengan abduksi dan
lengan bawah fleksi. Ini karena aktivitasd tak terhambat dari deltoid, bisep
dan otot brakhioradialis.
4. Lesi
C7
Lesi medulla
pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan aksesori untuk mengkompensasi
otot abdomen dan interkostal. Ekstremitas atas mengambil posis yang sama
seperti pada lesi C6. Fleksi jari tangan biasnya berlebihan ketika kerja
refleks kembali.
Menurut
Price, (2002 )menyampaikan manifestasi klinik pada fraktur adalah sebagai
berikut:
a.
Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal
ini dikarenakan adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan
jaringan sekitarnya.
b.
Bengkak/edama
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa
yang terlokalisir pada daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan
sekitarnya.
c.
Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari
extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
d.
Spasme otot
Merupakan
kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.
e.
Penurunan sensasi
Terjadi
karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
f.
Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur,
nyeri atau spasme otot. paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
g.
Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang
pada kondisi normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur
tulang panjang.
h.
Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika
bagian-bagaian tulang digerakkan.
i.
Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari
kecelakaan atau trauma dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke
posisi abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
j.
Shock hipovolemik
Shock
terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.
G.
Pemeriksaan
Diagnostik
Gambar 2.2 : Hasil pemeriksaan rontgen
Menurut Doenges, (2000) ada pun pemeriksaan penunjang
trauma servikal yaitu:
1) Sinar
X spinal
Menentukan loksi dan jenis cedera tulang
(fraktur, disloksi) untuk kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau
operasi.
2) CT
scan
Menentukan tempat luka/jejas,
mengevaluasi gangguan struktural.
3) MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf
spinal, edema dan kompresi.
4) Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis
(kanal vertebral) jika faktor patologisnya tidak jelas atau di curigai adanya
oklusi pada ruang subarakhnoid medulla spinalis.
5) Foto
rontgen torak
Memperlihatkan keadaan paru (contohnya:
perubahan pada diagfragma, anterlektasis).
6) GDA
Menunjukkan keefektifan pertukaran gas
atau upaya ventilasi.
H.
Komplikasi
Menurut Emma,
(2011) komplikasi pada trauma servikal adalah :
a)
Syok neurogenik
Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik
yang desending pada medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan kehilangan
tonus vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis pada jantung sehingga
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah visceral serta ekstremitas bawah maka
terjadi penumpukan darah dan konsekuensinya terjadi hipotensi.
b)
Syok spinal
Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya
refleks, terlihat setelah terjadinya cedera medulla spinalis. Pada syok spinal
mungkin akan tampak seperti lesi komplit walaupun tidak seluruh bagian rusak.
c)
Hipoventilasi
Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal
yang merupakan hasil dari cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di
daerah servikal bawah atau torakal atas.
d)
Hiperfleksia autonomic
Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut,
keringat banyak, kongesti nasal, bradikardi dan hipertensi.
I.
Penatalaksanaan
Menurut ENA, (2000) penatalaksanaan pada pasien truama servikal
yaitu :
1. Mempertahankan ABC (Airway,
Breathing, Circulation)
2. Mengatur posisi kepala dan leher
untuk mendukung airway : headtil, chin lip, jaw thrust. Jangan memutar atau
menarik leher ke belakang (hiperekstensi), mempertimbangkan pemasangan intubasi
nasofaring.
3. Stabilisasi tulang servikal dengan
manual support, gunakan servikal collar, imobilisasi lateral kepala, meletakkan
papan di bawah tulang belakang.
Gambar 2.3 : Servikal Collar
4. Stabililisasi tulang servikal sampai
ada hasil pemeriksaan rontgen (C1 - C7) dengan menggunakan collar (mencegah
hiperekstensi, fleksi dan rotasi), member lipatan selimut di bawah pelvis
kemudian mengikatnya.
5. Menyediakan oksigen tambahan.
6. Memonitor tanda-tanda vital meliputi
RR, AGD (PaCO2), dan pulse oksimetri.
7. Menyediakan ventilasi mekanik jika
diperlukan.
8. Memonitor tingkat kesadaran dan
output urin untuk menentukan pengaruh dari hipotensi dan bradikardi.
9. Meningkatkan aliran balik vena ke
jantung.
10. Berikan antiemboli
11. Tinggikan ekstremitas bawah
12. Gunakan baju antisyok.
13. Meningkatkan tekanan darah
14. Monitor volume infus.
15. Berikan terapi farmakologi (
vasokontriksi)
16. Berikan atropine sebagai indikasi
untuk meningkatkan denyut nadi jika terjadi gejala bradikardi.
17. Mengetur suhu ruangan untuk
menurunkan keparahan dari poikilothermy.
18. Memepersiapkan pasien untuk reposisi
spina.
19. Memberikan obat-obatan untuk
menjaga, melindungi dan memulihkan spinal cord : steroid dengan dosis tinggi
diberikan dalam periode lebih dari 24 jam, dimulai dari 8 jam setelah kejadian.
a.
Memantau status neurologi pasien untuk mengetahui tingkat
kesadaran pasien.
b.
Memasang NGT untuk mencegah distensi lambung dan kemungkinan
aspirasi jika ada indikasi.
c.
Memasang kateter urin untuk pengosongan kandung kemih.
d.
Mengubah posisi pasien untuk menghindari terjadinya
dekubitus.
e.
Memepersiapkan pasien ke pusat SCI (jika diperlukan).
f.
Mengupayakan pemenuhan kebutuhan pasien yang teridentifikasi
secara konsisten untuk menumbuhkan kepercayaan pasien pada tenaga kesehatan.
g.
Melibatkan orang terdekat untuk mendukung proses
penyembuhan.
J.
Pengkajian
Teoritis
Menurut ENA, (2000) pengkajian pada pasien trauma servikal adalah:
a)
Pengkajian primer
Data Subyektif
1) Riwayat Penyakit Sekarang
a. Mekanisme Cedera
b. Kemampuan Neurologi
c. Status Neurologi
d. Kestabilan Bergerak
2) Riwayat Kesehatan Masa Lalu
a. Keadaan Jantung dan pernapasan
b. Penyakit Kronis
Data Obyektif
1.
Airway
Adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat cedera
spinal sehingga mengganggu jalan napas
2.
Breathing
Pernapasa dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan,
pergerakan dinding dada
3.
Circulation
Hipotensi (biasanya sistole kurang dari 90 mmHg),
Bradikardi, Kulit teraba hangat dan kering, Poikilotermi (Ketidakmampuan
mengatur suhu tubuh, yang mana suhu tubuh bergantung pada suhu lingkungan)
4.
Disability
Kaji Kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan
bergerak, kehilangan sensasi, kelemahan otot.
5.
Exposure
Adanya deformitas tulang belakang
b)
Pengkajian Sekunder
1) Five Intervensi
Hasil AGD menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya
ventilasi, CT Scan untuk menentukan tempat luka atau jejas, MRI untuk
mengidentifikasi kerusakan saraf spinal, foto Rongen Thorak untuk mengetahui
keadaan paru, sinar – X Spinal untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang
(Fraktur/Dislokasi)
2) Give Comfort
Kaji adanya nyeri ketika tulang belakang bergerak
3) Head to Toe
a.
Leher :Terjadinya
perubahan bentuk tulang servikal akibat cedera
b.
Dada :Pernapasa dangkal, penggunaan otot-otot
pernapasan, pergerakan dinding dada, bradikardi, adanya desakan otot diafragma
dan interkosta akibat cedera spinal
c.
Pelvis dan Perineum
:Kehilangan control dalam eliminasi urin dan feses, terjadinya gangguan
pada ereksi penis (priapism)
d.
Ekstrimitas : terjadi paralisis, paraparesis, paraplegia
atau quadriparesis/quadriplegia
e.
Inspeksi Back / Posterior Surface
f.
Kaji adanya spasme otot, kekakuan, dan deformitas pada
tulang belakang.
c)
diagnosa keperawatan
1.
Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi
ditandai dengan dispnea,terdapat otot bantu napas.
2.
Perfusi jaringan perifer tidak efektif
berhubungan dengan penyumbatan aliran darah.
3.
Nyeri akut berhubungan dengan gangguan neurologis.
4.
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
neuromuscular ditandai dengan paralisis dan paraplegia pada ekstremitas.
5.
Kerusakan eliminasi urine berhubungan dengan kerusakan
sensori motorik ditandai dengan kehilangan kontrol dalam eliminasi urine.
6.
Risiko decera berhubungan dengan penurunan kesaradaran.
K.
Asuhan
Keperawatan Teoritis
NO
|
DIAGNOSA KEPERAWATAN
|
TUJUAN/KRITERIA HASIL
|
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1.
|
Pola
napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi ditandai dengan
dispnea,terdapat otot bantu napas.
|
Setelah
diberikan tindakan keperawatan selama 2x15 menit, diharapkan pola napas
pasien efektif dengan kriteria hasil:
a.
Pasien
melaporkan sesak napas berkurang
b.
Pernapasan
teratur
c.
Takipnea
tidak ada
d.
Pengembangan
dada simetris antara kanan dan kiri
e.
Tanda
vital dalam batas normal (nadi 60-100x/menit, RR 16-20 x/menit, tekanan darah
110-140/60-90 mmHg, suhu 36,5-37,5 oC)
f.
Tidak
ada penggunaan otot bantu napas.
|
1.
Pantau
ketat tanda-tanda vital dan pertahankan ABC.
2.
Monitor
usaha pernapasan pengembangan dada, keteraturan pernapasan nafas bibir dan
penggunaan otot bantu pernapasan.
3.
Berikan posisi semifowler jika tidak ada kontra indiksi.
4.
Gunakan servikal collar, imobilisasi lateral kepala,
meletakkan papan di bawah tulang belakang.
5.
Berikan oksigen sesuai indikasi
|
1. Perubahan pola nafas dapat
mempengaruhi tanda-tanda vital
2. Pengembangan
dada dan penggunaan otot bantu pernapasan mengindikasikan gangguan pola nafas.
3. Mempermudah
ekspansi paru.
4. Stabilisasi
tulang servikal.
5. Oksigen yang
adekuat dapat menghindari resiko kerusakan jaringan
|
2.
|
Perfusi
jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan penyumbatan aliran darah
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x5 menit
diharapkan perfusi jaringan adekuat.
Kriteria hasil
:
a. Nadi teraba
kuat
b. Tingkat
kesadaran composmentis
c. Sianosis atau
pucat tidak ada
d. Nadi Teraba
lemah, terdapat sianosis,
e. Akral teraba
hangat
f. CRT < 2
detik
g. GCS 13-15
h. AGD normal
|
1.
Atur
posisi kepala dan leher untuk mendukung airway (jaw thrust). Jangan memutar
atau menarik leher ke belakang (hiperekstensi), mempertimbangkan pemasangan
intubasi nasofaring.
2.
Tinggikan
ekstremitas bawah.
3.
Gunakan
servikal collar, imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang
belakang.
4.
Sediakan oksigen dengan nasal canul untuk
mengatasi hipoksia
5.
Ukur
tanda-tanda vital.
6.
Awasi
pemeriksaan AGD
|
1. Untuk mempertahankan ABC dan
mencegah terjadi obstruksi jalan napas
2. Meningkatkan aliran balik vena ke
jantung
3. Stabilisasi tulang servikal
4. Mencukupi
kebutuhan oksigen tubuh dan oksigen juga dapat menurunkan terjadinya sickling
5. Perubahan
tanda-tanda vital seperti bradikardi akibat dari kompensasi jantung terhadap
penurunan fungsi hemoglobin
6. Penurunan perfusi jaringan dapat
menimbulkan infark terhadap organ jaringan
|
3.
|
Nyeri akut berhubungan dengan
gangguan neurologis.
|
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 15 menit diharapkan nyeri pasien
dapat berkurang dengan kriteria hasil :
a. Tanda-tanda
vital dalam batas normal (Nadi 60-100 x/menit),(Suhu 36,5-37,5),( Tekanan
Darah 110-140/60-90 mmHg),(RR 16-20 x/menit)
b. Penurunan
skala nyeri( skala 0-10)
c. Wajah
pasien tampak tidak meringis
|
1.
Kaji
PQRST pasien.
2.
Pantau
tanda-tanda vital
3.
Berikan
analgesic untuk menurunkan nyeri.
4.
Gunakan
servikal collar, imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang
belakang.
|
1. Pengkajian yang tepat dapat
membantu dalam memberikan intervensi yang tepat.
2. Nyeri bersifat proinflamasi
sehingga dapat mempengaruhi tanda-tanda vital.
3. Analgetik dapat mengurangi nyeri
yang berat (memberikan kenyamanan pada pasien)
4. Stabilisasi tulang belakang untuk
mengurangi nyeri yang timbul jika tulang belakang digerakkan
|