Jumat, 17 Oktober 2014

askep trauma servikal


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Keperawatan merupakan suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan ilmu dan kiat keperawatan yang mencakup pelayanan bio-psiko-sosio dan spiritual yang komprehensif serta ditujukan kepada individu, keluarga serta masyarakat baik yang sakit maupun yang sehat, keperawatan pada dasarnya adalah human science and human care and caring menyangkut upaya memperlakukan klien secara manusiawi dan utuh sebagai manusia yang berbeda dari manusia lainnya dan kita ketahui manusia terdiri dari berbagai sistem yang saling menunjang, di antara sistem tersebut adalah sistem neurobehavior (Potter & Perry, 2006).
Susunan tulang pada manusia terdiri dari berbagai macam tulang di antaranya tulang vertebra (servikal, torakal, lumbal, sakral, koksigis). Tulang servikalis terdiri dari 7 tulang yaitu C1 atau atlas, C2 atau axis, C3, C4, C5, C6 dan C7. Apabila cidera pada bagain servikal akan mengakibatkan terjadinya trauma servikal.di mana trauma servikal merupakan keadaan cidera pada tulang bekalang servikal dan medulla spinalis yang disebabkan oleh dislokasi, sublukasi atau frakutur vertebra servikalisdan di tandai kompresi pada medulla spinal daerah servikal (Muttaqin, 2011).
Trauma medula spinalis terjadi pada 30.000 pasien setiap tahun di Amerika serikat. Insidensi pada negera berkembang berkisar antara 11,5 hingga 53,4 kasus dalam 1.000.000 populasi. Umumnya terjadi pada remaja dan dewasa muda.2 Penyebab tersering adalah kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh (25%) dan cedera yang berhubungan dengan olahraga (10%). Sisanya akibat kekerasan dan kecelakaan kerja. Hampir 40%-50% trauma medulla spinalis mengakibatkan defisit neurologis, sering menimbulkan gejala yang berat, dan terkadang menimbulkan kematian. Walaupun insidens pertahun relatif rendah, tapi biaya perawatan dan rehabilitasi untuk cedera medulla spinalis sangat besar, yaitu sekitar US$ 1.000.000 / pasien. Angka mortalitas  diperkirakan 48% dalam 24 jam pertama, dan lebih kurang 80% meninggal di tempat kejadian (Emma, 2011).
Di Indonesia kecelakaan merupakan penyebab kematian ke empat, setelah penyakit jantung, kanker, dan stroke, tercatat ±50 meningkat per 100.000 populasi tiap tahun, 3% penyebab kematian ini karena trauma langsung medulla spinalis, 2% karena multiple trauma. Insiden trauma pada laki-laki 5 kali lebih besar dari perempuan. Ducker dan Perrot melaporkan 40% spinal cord injury disebabkan kecelakaan lalu lintas, 20% jatuh, 40% luka tembak, sport, kecelakaan kerja. Lokasi fraktur atau fraktur dislokasi cervical paling sering pada C2 diikuti dengan C5 dan C6 terutama pada usia dekade 3 (Emma, 2011).
Dampak trauma servikal mengakibatkan syok neurogenik, syok spinal, hipoventilasi, hiperfleksia autonomic, gangguan pada pernafasan, gangguan fungsi saraf pada jari-jari tangan, otot bisep, otot trisep, dan otot- otot leher. Akibat atau dampak lebih lanjut dari trauma servikal yaitu kematian.
Peran perawat sangat penting dalam memberikan asuhan keperawatan guna mencengah komplikasi pada klien dan memberikan pendidikan kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga tentang trauma servikal.
Dari uraian diatas kelompok tertarik untuk membahas masalah asuhan keperawatan kegawatdaruratan dengan masalah trauma servikal.

B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan fenomena diatas kelompok merasa tertarik untuk membahas tentang masalah asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada pasien Tn. A dengan kasus  trauma servikal.

C.    TUJUAN
1.      Tujuan umum
Mahasiswa mampu melakukan asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada pasien Tn. A dengan kasus  trauma servikal.

2.      Tujuan Khusus
a.       Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada Tn. A dalam asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada trauma serikal.
b.      Mahasiswa mampu mengelompokkan data sesuai dengan tanda dan gejala pada trauma servikal.
c.       Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan dalam asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada trauma serikal.
d.      Mahasiswa mampu membuat perencanaan dalam asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada trauma serikal.
e.       Mahasiswa mampu melakukan implementasi  atau tindakan keperawatan dalam rangka penerapan asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada trauma serikal.
f.       Mahasiswa mampu mengevaluasi terhadap intervensi yang telah dilakukan dalam asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada trauma serikal.
g.      Mahasiswa mampu melakukan pendokumentasian pada Asuhan Keperawatan  kegawatdaruratan pada trauma serikal.

D.    MANFAAT
1.      Bagi mahasiswa
a.      Mahasiswa dapat memahami tentang konsep penyakit trauma servikal.
b.      Mahasiswa mendapat memahami dan mempraktekkan tentang asuhan keperawatan gawatdaruratan pada penyakit trauma servikal.
2.      Bagi akademik
a.       Akademik mendapatkan tambahan referensi untuk melengkapi bahan pembelajaran.
b.      Akademik mendapat dorongan untuk memotivasi mahasiswa tentang trauma servikal melalui proses belajar dan praktik dilapangan.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Anatomi Fisiologi
Kolumna vertebralis atau rangkaian tulang belakang Adalah sebuah struktur lentur yang dibentuk oleh sejumlah tulang yang disebut vertebra atau ruas tulang belakang. Di antara tiap dua ruas tulang pada tulang belakang terdapat bantalan tulang rawan. Panjang rangkaian tulang belakang pada orang dewasa dapat mencapai 57 sampai 67 sentimeter. Seluruhnya terdapat 33 ruas tulang, 24 buah di antaranya adalah tulang terpisah dan 9 ruas sisanya bergabung membentuk 2 tulang (Syaifuddin, 2009).
Gambar 2.1: Anatomi Servikal
Menurut Pearce,  (2009) Vertebra dikelompokkan dan dinamai sesuai dengan daerah yang ditempatinya yaitu sebagai berikut :
1.      Tujuh vertebra servikal atau ruas tulang bagian leher membentuk daerah tengkuk.
2.      Dua belas vertebra torakalis atau ruas tulang punggung membentuk bagian belakang torax atau dada.
3.      Lima vertebra lumbalis atau ruas tulang pinggang membentuk daerah lumbal atau pinggang.
4.      Lima vertebra sakralis atau ruas tulang kelangkang membentuk sakrum atau tulang kelangkang.
5.      Empat vertebra kosigeus  atau ruas tulang tungging membentuk tulang koksigeus atau tulang tungging.
Pada tulang leher, punggung dan pinggang ruasnya tetap tinggal jelas terpisah selama hidup dan disebut ruas yang dapat bergerak. Ruas pada dua daerah bawah, sakrum dan koksigeus, pada masa dewasa bersatu membentuk dua tulang. Ini disebut ruas tak bergerak (Pearce, 2009).
Dengan perkecualian dua ruas pertama dari tulang leher maka semua ruas yang dapat bergerak memiliki ciri khas yang sama. Seperti vertebra terdiri atas dua bagian, yaitu anterior di sebut badan vertebra dan yang posterior disebut arkus neuralis yang melingkari kanalis neuralis (foramen vertebra atau saluran sumsum tulang belakang) yang dilalui sumsum tulang belakang (Syafuddin, 2009).
Vertebra Servikalis atau ruas tulang leher adalah yang paling kecil. Kecuali yang pertama dan kedua, yang berbentuk istimewa maka ruas tulang leher pada umumnya mempunyai ciri yang berikut: badannya kecil dan persegi panjang, lebih panjang dari samping ke samping daripada dari depan ke belakang. Lengkungnya besar. Prosesus spinosus atau taju duri di ujung memecah dua atau bifida. Prosesus transversusnya atau taju sayap berlubang karena banyak foramina untuk lewatnya arteri vertebralis (Syafuddin, 2009).
Vertebra servikalis ketujuh adalah ruas yang pertama yang mempunyai prosesus spinosus tidak terbelah. Prosesus ini mempunyai tuberkel (benjolan) pada ujngnya. Membentuk gambaran yang jelas di tengkuk dan tampak pada bagian bawah tengkuk. Karena iri khususnya ini maka tulang ini disebut vertebra prominens (Syafuddin, 2009).
Vertebra torakalis atau ruas tulang punggung lebih besar daripada yang servikal dan di sebelah bawah menjadi lebih besar. Ciri khas vertebra torakalis adalah sebagai berikut: badannya berbentuk lebar-lonjong (bentuk jantung dengan faset atau lekukan kecil di setiap sisi untuk menyambung iga; lengkungnya agak kecil, prosesus spinosus panjang dan mengarah ke bawah, sedangkan prosesus transversus, yang membantu mendukung iga adalah tebal dan kuat serta membuat faset persendian untuk iga (Pearce, 2009).
Vertebra Lumalis atau ruas tulang pinggang adalah yang terbesar. Badnnya sangat besar dibandingkan dengan badan vertebra lainnya dan berbentuk seperti ginjal. Prosesus spinosusunya lebar dan berbentuk seperti kapak kecil. Prosesus transversusnya panjang dan langsing. Ruas kelima membentuk sendi dengan sakrum pada sendi lumbo-sakral (Syafuddin, 2009).
Sakrum atau tulang kelangkang berbentuk segitiga dan terletak pada bagian bawah kolumna vertebralis, terjepit di antara kedua tulang inominata (atau tulang koxa) dan membentuk bagian belakang rongga pelvis (panggul). Dasar dari sakrum terletak di atas dan bersendi dengan vertebra lumalis kelima dan membentuk sendi intervertebral yang khas. Tapi anterior dari basis sakrum membentuk  promontorium sakralis. Kanalis sakralis terletak di bawah kanalis vertebralis (saluran tulang belakang) dan memang lanjutan daripadanya. Dinding kanalis sakralis berlubang untuk dilalui saraf sakral. Prosesus spinosus yang rudimenter dapat dilihat pada pandangna posterior dari sakrum. Permukaan anterior sakrum adalah cekung dan memperlihatkan empat gili melintang yang menandakan tempat penggabungan kelima vertebra sakralis. Pada ujng gili-gili ini, di setiap sisi terdapat lubagng kecil untuk dilewati urat saraf. Lubang ini disebut foramina. Apex dari sakrum bersendi dengan tulang koksigeus. Di sisinya, sakrum bersendi dengan tulang ileum dan membentuk sendi sakro iliaka kanan dan kiri (Pearce, 2009).
Koksigeus atau tulang tungging terdiri atas empat atau lima vertebra yang rudimeter yang bergabung menjadi satu. Di atasnya ia bersendi dengan sakrum. Lengkung kolumna vertebralis. Kalau dilihat dari samping maka kolumna vertebralis memperlihatkan empat kurva atau lengkung antero-posterior: lengkung vertikal pada daerah leher melengkung ke depan, daerah torakal melengkung ke belakang, daerah lumbal melengkung ke depan dan daerah pelvis melengkung ke belakang. Kedua lengkung yang menghadap posterior, yaitu yang terakal dan pelvis disebut primer karena mereka mempertahankan lengkung aslinya ke belakang dari tulang belakang yaitu bentuk “C” sewaktu janin dengan kepala membengkok ke bawah sampai batas dada dan gelang panggul dimiringkan ke atas ke arah depan badan. Kedua lengkung yang menghadap ke anterior adalah sekunder-lengkung servikal berkembang ketika kanak-kanak mengangkat kepalanya untuk melihat sekelilingnya sambil menyelidiki dan lengkung lumbal di bentuk ketika ia merangkak, berdiri dan berjalan dan mempertahankan tegak (Syafuddin, 2009).
Sendi kolumna vertebra. Sendi ini dibentuk oleh bantalan tulang rawan yang diletakkan di antara setiap dua vertebra, di kuatkan oleh ligamentum yang berjalan di depan dan di belakang badan vertebra sepanjang kolumna vertebralis. Massa otot di seitap sisi membantu dengan sepenuhnya kestablian tulang belakang. Diskus intervertebralis atau cakram antar ruas adalah bantalan tebal dari tulang rawan fibrosa yang terdapat di antara badan vertebra yang dapat bergerak. Gerakan. Sendi yang terbentuk antara cakram dan vertebra adalah persendian dengan gerakan yang terbatas saja dan termasuk sendi jenis simpisis, tetapi jumlahnya yang banyak memberi kemungkinan membengkok kepada kolumnanya secara keseluruhan. Gerakannya yang mungkin adalah flexi atau membengkok ke depan, extensi, membengkok ke depan, membengkok lateral ke setiap sisi dan rotasi atau berputar ke kanan dan ke kiri (Pearce, 2009).
Fungsi dari Kolumna vertebralis, kolumna vertebralis bekerja sebagai pendukung badan yang kokoh dan sekaligus juga bekerja sebagai penyangga dengan perantaraan tulang rawan cakram intervertebralis yang lengkungannya memberi fleksibilitas dan memungkinkan membengkok tanpa pata. Cakramnya juga berguna untuk menyerap goncangan yang terjadi bila menggerakkan berat badan seperti waktu berlaru dan meloncat, dan dengan demikian otak dan sumsum belakang terlindung terhadap goncangan (Pearce, 2009).

B.     Pengertian Trauma Servikal
Trauma servikal adalah suatu keadaan cedera pada tulang belakang servikal dan medulla spinalis yang disebabkan oleh dislokasi, subluksasi, atau fraktur vertebra servikalis dan ditandai dengan kompresi pada medula spinalis daerh servikal. Dislokasi servikal adalah lepasnya salah satu struktur dari tulang servikal. Subluksasi servikal merupakan kondisi sebagian dari tulang servikal lepas. Fraktur servikal adalah terputusnya hubungan dari badan tulang vertebra servikalis (Muttaqin, 2011).

C.    Etiologi
Cedera medulla spinalis servikal disebabkan oleh trauma langsung yang mengenai tulang belakang di mana tulang tersebut melampaui kemampauan tulang belakang dalam melindungi saraf-saraf belakangnya. Menurut Emma, (2011) Trauma langsung tersebut dapat berupa :
1.      Kecelakaan lalulintas
2.      Kecelakaan olahraga
3.      Kecelakaan industri
4.      Jatuh dari pohon/bangunan
5.      Luka tusuk
6.      Luka tembak
7.      Kejatuhan benda keras





D.    Patofisiologi
Kolumna vertebralis normal dapat menahan tekanan yang berat dan mempertahankan integritasnya tampa mengalami kerusakan pada medula spinalis. Akan tetapi, beberapa mekanisme trauma tertentu dapat merusak sistem pertahanan ini dan mengakibatkan kerusakan pada kolumna vertebralis dan medula spinalis. Pada daerah kolumna servikal, kemungkinan terjadinya cedera medula spinalis adalah 40%. Trauma servikal dapat ditandai dengan kerusakan kolumna vertebralis (fraktur, dislokasi, dan subluksasi), kompresi diskus, robeknya ligamen servikal, dan kompresi radiks saraf pada setiap sisinya yang dapat menekan spinal dan menyebabkan kompresi radiks dan distribusi saraf sesuai segmen dari tulang belakang servikal (Price, 2009).
Pada cidera hiperekstensi servikal, pukulan pada wajah atau dahi akan memaksa kepala kebelakang dan tidak ada yang menyangga oksiput dan diskus dapat rusak atau arkus saraf mengalami kerusakan. Pada cidera yang stabil dan merupakan tipe frakutur vertebra yang paling sering di temukan. Jika ligamen posterior robek, cedera, bersifat tidak stabil dan badan vertebra bagian atas dapat miring ke depan di atas badan vertebra di bawahnya. Trauma servikal dapat menyebabkan cedera yang komponen vertebranya tidak akan tergeser oleh gerakan normal sehingga sumsum tulang tidak rusak dan resiko biasanya lebih rendah (Muttaqin, 2011).
Cedera yang tidak stabil adalah cedera yang dapat mengalami pergeseran lebih jauh dan perubahan struktur oseoligamentosa posterior (pedikulis, sendi permukaan, arkus tulang posterior, ligamen interspinosa, dan supraspinosa), komponen pertengahan (sepertiga bagian posterior badan vertebra, bagian posterior diskus intervertebra, dan ligamen longitudinal posterior), dan kolumna anterior (duapertiga bagian anterior korpus vertebra, bagian anterior diskus intervertebra dan ligamen longitudinal anterior) (Muttaqin, 2011).
Cedera spinal tidak stabil menyebabkan resiko tinggi cedera pada korda sehingga menimbulkan masalah aktual atau resiko ketidakefektifan pola napas dan penurunan curah jantung akibat kehilangnya kontrol organ viseral. Kompresi saraf dan spasme otot servikal memberikan stimulasi nyeri. Kompresi diskus menyebabkan paralisis dan respons sistemik dengan munculnya keluhan mobilisasi fisik, gangguan defekasi akibat penurunan peristaltik usus, dan ketidak seimbangan nutrisi (Price, 2002).
Tindakan dekompresi dan stabilitas pada pascabedah akan menimbulkan port de entree luka pascabedah yang menyebabkan masalah resiko tinggi infeksi. Selain itu, tindakan tersebut dapat menyebabkan kerusakan neuromuskular, yang menimbulkan resiko trauma sekunder akibat ketidaktahuan tentang teknik mobilisasi yang tepat. Kondisi psikologis karena prognosis penyakit menimbulkan respons anastesi. Manipulasi yang tidak tepat akan menimbulkan keluhan nyeri dan hambatan mobilitas fisik (Muttaqin, 2011).



















E.     WOC




























F.     Manifestasi Klinis
Menurut Hudak & Gallo, (1996) menifestasi klinis trauma servikal adalah sebagai berikut :
1.      Lesi C1-C4  
Pada lesi C1-C4. Otot trapezius, sternomastoid dan otot plastisma masih berfungsi. Otot diafragma dan otot interkostal mengalami partalisis dan tidak ada gerakan (baik secara fisik maupun fungsional0 di bawah transeksi spinal tersebut. Kehilangan sensori pada tingkat C1 malalui C3 meliputi daerah oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah. Kehilangan sensori diilustrasikan oleh diagfragma dermatom tubuh.
Pasien dengan quadriplegia pada C1, C2, atau C3 membutuhkan perhatian penuh karena ketergantungan pada semua aktivitas kebutuhan sehari-hari seperti makan, mandi, dan berpakaian. quadriplegia pada C4 biasanya juga memerlukan ventilator mekanis tetapi mengkn dapat dilepaskan dari ventilator secara. intermiten. pasien biasnya tergantung pada orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari meskipun dia mungkin dapat makan sendiri dengan alat khsus.
2.      Lesi C5
Bila segmen C5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi diafragma rusak sekunder terhadap edema pascatrauma akut. paralisis intestinal dan dilatasi lambung dapat disertai dengan depresi pernapasan. Ekstremitas atas mengalami rotasi ke arah luar sebagai akibat kerusakan pada otot supraspinosus. Bahu dapat di angkat karena tidak ada kerja penghambat levator skapula dan otot trapezius. setelah fase akut, refleks di bawah lesi menjadi berlebihan. Sensasi  ada pada daerah leher dan triagular anterior dari daerah lengan atas.
3.      Lesi C6
pada lesi segen C6 disters pernafasan dapat terjadi karena paralisis intestinal dan edema asenden dari medulla spinalis. Bahu biasanya naik, dengan lengan abduksi dan lengan bawah fleksi. Ini karena aktivitasd tak terhambat dari deltoid, bisep dan otot brakhioradialis.
4.      Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan aksesori untuk mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Ekstremitas atas mengambil posis yang sama seperti pada lesi C6. Fleksi jari tangan biasnya berlebihan ketika kerja refleks kembali.
Menurut Price, (2002 )menyampaikan manifestasi klinik pada fraktur adalah sebagai berikut:
a.       Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
b.      Bengkak/edama
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
c.       Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
d.      Spasme otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.
e.       Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
f.       Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot. paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
g.      Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang.

h.      Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang digerakkan.
i.        Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
j.        Shock hipovolemik
Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.

G.    Pemeriksaan Diagnostik
Gambar 2.2 : Hasil pemeriksaan rontgen
Menurut Doenges, (2000) ada pun pemeriksaan penunjang trauma servikal yaitu:
1)      Sinar X spinal
Menentukan loksi dan jenis cedera tulang (fraktur, disloksi) untuk kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi.
2)      CT scan
Menentukan tempat luka/jejas, mengevaluasi gangguan struktural.
3)      MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi.
4)      Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor patologisnya tidak jelas atau di curigai adanya oklusi pada ruang subarakhnoid medulla spinalis.
5)      Foto rontgen torak
Memperlihatkan keadaan paru (contohnya: perubahan pada diagfragma, anterlektasis).
6)      GDA
Menunjukkan keefektifan pertukaran gas atau upaya ventilasi.

H.    Komplikasi
Menurut Emma, (2011) komplikasi pada trauma servikal adalah :
a)      Syok neurogenik
Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang desending pada medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan kehilangan tonus vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis pada jantung sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah visceral serta ekstremitas bawah maka terjadi penumpukan darah dan konsekuensinya terjadi hipotensi.
b)      Syok spinal
Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah terjadinya cedera medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak seperti lesi komplit walaupun tidak seluruh bagian rusak.
c)      Hipoventilasi
Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil dari cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah servikal bawah atau torakal atas.
d)     Hiperfleksia autonomic
Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut, keringat banyak, kongesti nasal, bradikardi dan hipertensi.

I.       Penatalaksanaan
Menurut  ENA, (2000) penatalaksanaan pada pasien truama servikal yaitu :
1.    Mempertahankan ABC (Airway, Breathing, Circulation)
2.    Mengatur posisi kepala dan leher untuk mendukung airway : headtil, chin lip, jaw thrust. Jangan memutar atau menarik leher ke belakang (hiperekstensi), mempertimbangkan pemasangan intubasi nasofaring.
3.    Stabilisasi tulang servikal dengan manual support, gunakan servikal collar, imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang belakang.
Gambar 2.3 : Servikal Collar
4.      Stabililisasi tulang servikal sampai ada hasil pemeriksaan rontgen (C1 - C7) dengan menggunakan collar (mencegah hiperekstensi, fleksi dan rotasi), member lipatan selimut di bawah pelvis kemudian mengikatnya.
5.      Menyediakan oksigen tambahan.
6.      Memonitor tanda-tanda vital meliputi RR, AGD (PaCO2), dan pulse oksimetri.
7.      Menyediakan ventilasi mekanik jika diperlukan.
8.      Memonitor tingkat kesadaran dan output urin untuk menentukan pengaruh dari hipotensi dan bradikardi.
9.       Meningkatkan aliran balik vena ke jantung.
10.  Berikan antiemboli
11.  Tinggikan ekstremitas bawah
12.  Gunakan baju antisyok.
13.  Meningkatkan tekanan darah
14.   Monitor volume infus.
15.  Berikan terapi farmakologi ( vasokontriksi)
16.  Berikan atropine sebagai indikasi untuk meningkatkan denyut nadi jika terjadi gejala bradikardi.
17.  Mengetur suhu ruangan untuk menurunkan keparahan dari poikilothermy.
18.  Memepersiapkan pasien untuk reposisi spina.
19.  Memberikan obat-obatan untuk menjaga, melindungi dan memulihkan spinal cord : steroid dengan dosis tinggi diberikan dalam periode lebih dari 24 jam, dimulai dari 8 jam setelah kejadian.
a.         Memantau status neurologi pasien untuk mengetahui tingkat kesadaran pasien.
b.         Memasang NGT untuk mencegah distensi lambung dan kemungkinan aspirasi jika ada indikasi.
c.         Memasang kateter urin untuk pengosongan kandung kemih.
d.        Mengubah posisi pasien untuk menghindari terjadinya dekubitus.
e.         Memepersiapkan pasien ke pusat SCI (jika diperlukan).
f.          Mengupayakan pemenuhan kebutuhan pasien yang teridentifikasi secara konsisten untuk menumbuhkan kepercayaan pasien pada tenaga kesehatan.
g.         Melibatkan orang terdekat untuk mendukung proses penyembuhan.






J.      Pengkajian Teoritis
Menurut ENA, (2000) pengkajian pada pasien trauma servikal adalah:
a)      Pengkajian primer
Data Subyektif
1)   Riwayat Penyakit Sekarang
a.    Mekanisme Cedera
b.    Kemampuan Neurologi
c.    Status Neurologi
d.   Kestabilan Bergerak
2)   Riwayat Kesehatan Masa Lalu
a.    Keadaan Jantung dan pernapasan
b.    Penyakit Kronis
Data Obyektif
1.        Airway
Adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat cedera spinal sehingga mengganggu jalan napas
2.        Breathing
Pernapasa dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan dinding dada
3.        Circulation
Hipotensi (biasanya sistole kurang dari 90 mmHg), Bradikardi, Kulit teraba hangat dan kering, Poikilotermi (Ketidakmampuan mengatur suhu tubuh, yang mana suhu tubuh bergantung pada suhu lingkungan)
4.        Disability
Kaji Kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan bergerak, kehilangan sensasi, kelemahan otot.
5.        Exposure
Adanya deformitas tulang belakang


b)                 Pengkajian Sekunder
1)   Five Intervensi
Hasil AGD menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi, CT Scan untuk menentukan tempat luka atau jejas, MRI untuk mengidentifikasi kerusakan saraf spinal, foto Rongen Thorak untuk mengetahui keadaan paru, sinar – X Spinal untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (Fraktur/Dislokasi)
2)   Give Comfort
Kaji adanya nyeri ketika tulang belakang bergerak
3)      Head to Toe
a.         Leher    :Terjadinya perubahan bentuk tulang servikal akibat cedera
b.        Dada  :Pernapasa dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan dinding dada, bradikardi, adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat cedera spinal
c.         Pelvis dan Perineum  :Kehilangan control dalam eliminasi urin dan feses, terjadinya gangguan pada ereksi penis (priapism)
d.        Ekstrimitas : terjadi paralisis, paraparesis, paraplegia atau quadriparesis/quadriplegia
e.         Inspeksi Back / Posterior Surface
f.         Kaji adanya spasme otot, kekakuan, dan deformitas pada tulang belakang.

c)             diagnosa keperawatan
1.             Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi ditandai dengan dispnea,terdapat otot bantu napas.
2.             Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan penyumbatan aliran darah.
3.             Nyeri akut berhubungan dengan gangguan neurologis.
4.             Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular ditandai dengan paralisis dan paraplegia pada ekstremitas.
5.             Kerusakan eliminasi urine berhubungan dengan kerusakan sensori motorik ditandai dengan kehilangan kontrol dalam eliminasi urine.
6.             Risiko decera berhubungan dengan penurunan kesaradaran.


























K.    Asuhan Keperawatan Teoritis

NO
DIAGNOSA KEPERAWATAN
TUJUAN/KRITERIA HASIL
INTERVENSI
RASIONAL
1.
Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi ditandai dengan dispnea,terdapat otot bantu napas.

Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 2x15 menit, diharapkan pola napas pasien efektif dengan kriteria hasil:
a.     Pasien melaporkan sesak napas berkurang
b.     Pernapasan teratur
c.     Takipnea tidak ada
d.    Pengembangan dada simetris antara kanan dan kiri
e.     Tanda vital dalam batas normal (nadi 60-100x/menit, RR 16-20 x/menit, tekanan darah 110-140/60-90 mmHg, suhu 36,5-37,5 oC)
f.      Tidak ada penggunaan otot bantu napas.


1.        Pantau ketat tanda-tanda vital dan pertahankan ABC.

2.        Monitor usaha pernapasan pengembangan dada, keteraturan pernapasan nafas bibir dan penggunaan otot bantu pernapasan.


3.        Berikan posisi semifowler jika tidak ada kontra indiksi.

4.        Gunakan servikal collar, imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang belakang.
5.        Berikan oksigen sesuai indikasi
1.    Perubahan pola nafas dapat mempengaruhi tanda-tanda vital
2.    Pengembangan dada dan penggunaan otot bantu pernapasan mengindikasikan gangguan pola nafas.
3.    Mempermudah ekspansi paru.
4.    Stabilisasi tulang servikal.
5.    Oksigen yang adekuat dapat menghindari resiko kerusakan jaringan
2.
Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan penyumbatan aliran darah
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x5 menit diharapkan perfusi jaringan adekuat.
Kriteria hasil :
a.    Nadi teraba kuat
b.    Tingkat kesadaran composmentis
c.    Sianosis atau pucat tidak ada
d.   Nadi Teraba lemah, terdapat sianosis,
e.    Akral teraba hangat
f.     CRT < 2 detik
g.    GCS 13-15
h.    AGD normal

1.        Atur posisi kepala dan leher untuk mendukung airway (jaw thrust). Jangan memutar atau menarik leher ke belakang (hiperekstensi), mempertimbangkan pemasangan intubasi nasofaring.

2.        Tinggikan ekstremitas bawah.

3.        Gunakan servikal collar, imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang belakang.

4.        Sediakan oksigen dengan nasal  canul untuk mengatasi hipoksia

5.        Ukur tanda-tanda vital.

6.        Awasi pemeriksaan AGD

1.    Untuk mempertahankan ABC dan mencegah terjadi obstruksi jalan napas

2.    Meningkatkan aliran balik vena ke jantung
3.    Stabilisasi tulang servikal
4.    Mencukupi kebutuhan oksigen tubuh dan oksigen juga dapat menurunkan terjadinya sickling
5.    Perubahan tanda-tanda vital seperti bradikardi akibat dari kompensasi jantung terhadap penurunan fungsi hemoglobin
6.    Penurunan perfusi jaringan dapat menimbulkan infark terhadap organ jaringan



3.
Nyeri akut berhubungan dengan gangguan neurologis.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 15 menit diharapkan nyeri pasien dapat berkurang dengan kriteria hasil :
a.    Tanda-tanda vital dalam batas normal (Nadi 60-100 x/menit),(Suhu 36,5-37,5),( Tekanan Darah 110-140/60-90 mmHg),(RR 16-20 x/menit)
b.    Penurunan skala nyeri( skala 0-10)
c.    Wajah pasien tampak tidak meringis       

1. Kaji PQRST pasien.





2. Pantau tanda-tanda vital





3. Berikan analgesic untuk menurunkan nyeri.


4.  Gunakan servikal collar, imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang belakang.

1.   Pengkajian yang tepat dapat membantu dalam memberikan intervensi yang tepat.
2.   Nyeri bersifat proinflamasi sehingga dapat mempengaruhi tanda-tanda vital.
3.   Analgetik dapat mengurangi nyeri yang berat (memberikan kenyamanan pada pasien)


4.   Stabilisasi tulang belakang untuk mengurangi nyeri yang timbul jika tulang belakang digerakkan